Berhasil di Sekolah VS Berhasil Dalam Hidup
school, kids, parentsSekolah sangat mahal di Indonesia. Ini adalah suatu realita yang kontradiktif dengan segala yang kita harapkan dan impikan selama ini. Susah payah kedua orang tua kita membesarkan dan mendidik kita, agar kita-kita mendapatkan kehidupan yang lebih baik dan lebih menyenangkan dibandingkan dengan kehidupan beliau-beliau.
Ternyata semakin tinggi taraf pendidikan dan taraf kehidupan semakin naik pula biaya yang harus disediakan untuk dapat mengenyam segala fasilitas dan kenyamanan yang tersedia.
Sudah bukan berita baru lagi bila dikabarkan sekolah favorit A mensyaratkan dua digit juta rupiah bila kita ingin memasukkan anak ke sana. Sementara menjamur puluhan, ratusan, ribuan sekolah lain yang tidak segan-segan mematok harga menjulang langit untuk memberi 1 tempat bagi buah hati kita.
Bila mereka yang jelas-jelas tak mampu berkompetisi hanya bisa mengurut dada dan mensyukuri apapun yang dapat mereka raih. Banyak pula di antara mereka yang tidak dapat mempunyai keinginan untuk memasukkan anak mereka ke sekolah favorit/mahal. Sementara, sekolah negeri 'tak favorit'pun sekarang semakin banyak mematok uang sumbangan. Kemana lagi para orang tua ini mesti berpaling?
"Ya Mbak....anak tante kan nggak pinter-pinter amat, sudah UMPTN gagal, masuk ke PT swasta mahal.....eh disuruh kursus nggak mau...maluu katanya...". "Masuk program Diploma...gengsi...akhirnya ya...cuma ubak-ubek ke sana kemari sama temennya...tuh."
Saya teringat kata-kata orang tua teman SD saya, dulu. Teman saya, akhirnya masih bergantung kepada orang tuanya hingga kini. Satu-satunya kebanggaannya, 'menyetir mobil', hal yang sangat 'keren' masa-masa SMA, akhirnya yang menjadikannya sumber mata pencariannya. Itupun seringkali mogok, karena menjadi supir pribadi 'orang kaya' tidak bisa dijadikan penghasilan tetap dengan mentalitas dirinya yang masih merasa sebagai'orang kaya' karena orang tuanya yang kaya.
Orang tua teman saya adalah produk yang melihat keberhasilan seseorang dari bebet, bibit bobot. Beliau pun mencari menantu yang minimal masih mempunyai gelar ningrat, yang pekerjaannya minimal insinyur atau dokter, yang orangnya cantik ganteng. Jadilah, teman saya ini selalu menolak tawaran pekerjaan yang menurutnya 'tidak bobot, bibit, bebet'.
Sementara ada temannya sesama lulusan SMA dulu yang sama-sama ditawari pekerjaan untuk menjadi detailer obat, dan mengambil tawaran menjadi detailer perusahaan Farmasi, sekarang sudah berkeluarga mapan, dapat menyelesaikan Sarjana Ekonominya di sebuah Universitas Negeri Extension, sudah beralih posisi dari detailer menjadi posisi eksekutif di bagian marketing perusahaan yang sama. Padahal dua-duanya berangkat dari lulusan SMA dengan nilai yang biasa-biasa saja.
Satu teman saya masih menikmati kebebasannya, tanpa pekerjaan, masih melajang, dan masih bergantung sepenuhnya kepada orang tua. Sementara temannya yang sama-sama ditawari pekerjaan yang 'dianggap'nya rendah, mengambil tawaran tersebut dan penuh ketekunan dan dedikasi sehingga sekarang mulai menikmati buah kerja kerasnya. Manakah yang lebih berhasil di dalam hidupnya?
Seringkali kita mendengar keluh kesah orang tua bahwa anak-anak mereka tidak cemerlang di dalam studinya. Seringkali juga kita dengar pomeo bahwa bila tidak berhasil dalam studi berarti sudah kehilangan satu anak tangga menuju keberhasilan hidup.
Apa benar bila kita berhasil di dalam studi akan banyak mempengaruhi keberhasilan kita di dalam kehidupan? Ini adalah suatu tema yang abadi dari perdebatan banyak para ahli. Apa sebenarnya parameter keberhasilan dan kesuksesan di dalam hidup?
Secara reliji, seringkali di dalam doa-doa yang muncul adalah permohonan dan harapan agar diberikan kebahagiaan dunia dan akhirat, lebih detail lagi dengan perinciian, umur panjang yang penuh berkah dan manfaat bagi semua, penuh kesehatan, dimudahkan dan dilancarkan dalam segala hal, diberikan kehidupan penuh kedamaian dan kemudahan, rezeki yang mengalir berlimpah tak putus, diberikan ilmu yang penuh manfaat, dibebaskan dari kesempitan, ketakutan, kemiskinan, kelaparan dan bencana, dan lain seterusnya.
Tidak ada di dalam doa-doa permohonan untuk dijadikan orang bertitel dan menjadi orang jenius. Kenyataannya memang keberhasilan dalam studi tidak menjamin bahwa ybs akan otomatis berhasil di dalam kehidupannya. Hanya saja, memang, keberhasilan di dalam studi bisa menjadi satu faktor yang membuat seseorang menjadi berhasil di dalam kehidupan, meskipun hal ini tidaklah mutlak.
Tidak sedikit orang yang tidak menuntaskan jenjang studi formalnya yang berhasil menjadi pengusaha besar. Sebut saja Bill Gates, atau pencipta Apple, atau banyak lagi sederetan nama baik di tingkat lokal, nasional maupun internasional. Kalau kita melihat sekeliling pastinya akan banyak kita temui orang-orang yang sukses tanpa sederetan gelar-gelar pendidikan tinggi.
Namun untuk di Indonesia, kelihatannya mayoritas orang masih melihat titel ataupun gelar-gelar yang disandang oleh seseorang dalam menentukan keberhasilan seseorang. Sehingga tak jarang ada orang yang setelah mampu secara ekonomi berusaha meraih gelar-gelar tersebut dengan segala cara, hingga membeli gelar.
Di satu sisi, ini merupakan satu faktor yang menggembirakan untuk para praktisi akademisi. Ladang yang subur untuk meraup emas-berlian adalah BISNIS PENDIDIKAN. Berarti ini masa depan yang gemilang dan menjanjikan bagi mereka yang berkecimpung di bidang pendidikan secara profesional. Di sisi lain, menimbulkan kompetisi baik sehat maupun tidak sehat bagi bangsa Indonesia di dalam meraih gelar-gelar pendidikan tinggi.
Saya sendiri mengalami saat-saat melihat perjuangan banyak orang untuk mengubah taraf kehidupan dan penghidupan mereka melalui pendidikan. Tak segan-segan banyak orang mengeluarkan uang berjuta-juta demi mendapatkan seberkas sertifikat/ijazah. Namun sayangnya, jarang ada di antara mereka yang murni belajar 'hanya' sekedar untuk memperoleh ilmu pengetahuan.
Walaupun banyak yang mendengungkan pentingnya EQ yang balans dengan IQ, selama ini yang saya temui adalah teman-teman atau orang-orang yang saya kenal yang berhasil di dalam studinya adalah mereka pula yang berhasil di dalam kehidupan. Hal ini memang kadang menimbulkan kecemburuan, dan iri hati. Benarkah mereka yang berhasil dalam studi sekaligus mereka mempunyai balans EQ dan IQnya? Sementara kita meyakini bahwa Allah SWT Sangat Maha Adil terhadap semua ciptaanNya. Apa ini berarti ada yang diciptakan untuk menjadi sukses dan ada yang diciptakan untuk sulit menjadi sukses?
Apakah ini diskrimanasi? Saya lebih cenderung mengatakan bahwa seperti seleksi alam, manusia hidup juga sangat kompetitif. Hidup adalah perjuangan, juga bukan sekedar slogan. Sehingga di manapun manusia hidup dan berada, dia yang diberikan fitrah dan kebebasan oleh Allah dalam memilih sendiri 'way of lifenya', bebas memilih 'faith dan beliefnya', bebas memilih 'medan tempur kehidupannya sendiri'.
Kita tak bisa hanya berteriak-teriak memprotes kesenjangan kesejahteraan dan kehidupan serta berbagai kenyamanan lain yang tak tergapai oleh mayoritas bangsa Indonesia. Sementara secara mentalitas, impian semua orang adalah sama yaitu menikmati semua kenyamanan tersebut tanpa kecuali. Selama mentalitas /idealisme kenyamanan kehidupan yang diimpikan oleh bangsa Indonesia masih satu versi, berarti seluruh bangsa Indonesia menceburkan diri ke dalam suatu "medan tempur besar materialisme dan borjuisme nasional".
Teman-teman saya dari bangsa lain kadang menyindir saya, katanya orang di Indonesia beragama, religius, kenapa ya sampai jadi negara terkorup dan masuk negara termiskin? Kalau religius, bukankah itu sangat kontradiktif dengan korup dan kemiskinan?
Mereka lebih menyindir lagi masalah pelanggaran HAM, dan masalah pelestarian sumber-sumber hayati negara. Apalagi mengetahui hasil report dan survey lembaga dunia/ media internasional mengenai gaya hidup para penguasa dan keluarga mereka.
Saya sangat susah untuk berkata-kata dan menjawabnya. Bagaimana bangsa Indonesia memilih pemimpin dan para pejabatnya?
Saya jadi teringat seorang teman, yang sampai diejek banyak orang karena ia menjawab, bahwa ia sebagai pribadi baru mampu menjadi pemimpin bagi dirinya sendiri, dan "baru belajar"untuk menjadi pemimpin bagi istri dan anak-anaknya.
Jawabannya yang sangat simple dan low-profile ini pada awalnya kedengaran kurang PD. Namun dibalik jawaban yang super simple ini, terkandung suatu percaya diri yang kuat. Lha, wong dia bisa bilang dapat menjadi pemimpin bagi dirinya sendiri berarti dia memililiki 'confidence' dapat take-control of his own-life.
Kebanyakan challenge dari mereka yang sukses di dalam studi adalah 'over-confident'. Apalagi bila sekolah yang dilalui adalah sekolah favorit di LN yang ternama dengan bidang yang super-sulit. Kebalikannya, mereka yang kurang berhasil di dalam studi seringkali dihinggapi hal sebaliknya. Tak PD dan terlalu PD ini sebenarnya bisa menghinggapi siapapun tanpa kecuali.Hanya saja memang selalu ada faktor-faktor pencetus dan pendukung timbulnya hal tersebut.
Banyak di antara teman yang setelah meraih gelar tertinggi di bidang akademisi menjadi 'terlahir' sebagai orang yang baru yang sudah mengubah 'medan tempur kehidupannya' dan beranjak ke stage yang lebih tinggi. Meskipun masih banyak pula yang tidak berubah gaya hidup serta personalitynya. Masih tetap bersahaja dan low-profile, dan bergaya hidup sederhana, tidak hanya mau bergaul dengan mereka yang dianggap selevel baik gaya hidup, pendidikan, maupun pergaulan.
Saya jadi teringat komentar seorang teman, yang setengah mengeluh mengatakan bahwa dirinya tidak dianggap di dalam pergaulan teman-temannya hanya karena dia dan suaminya tidak mempunyai gelar pendidikan tinggi dan level penghasilan mereka tidak sebanding dengan teman-temannya yang lain.
Baginya tidak jadi masalah bila tidak diajak dalam aktifitas lingkaran pergaulan teman-temannya yang sudah menanjak lebih baik, namun rasanya aneh dan menyakitkan bagi mereka untuk tiba-tiba saja menjadi kehilangan banyak teman lama karena kesenjangan pendidikan dan ekonomi keluarga.
Sementara ini saya masih belum berubah dalam berfikir bahwa pendidikan adalah satu jembatan emas yang mengantarkan manusia ke dalam kehidupan dan pendewasaan diri. Sehingga selayaknya, semakin tinggi pendidikan seseorang, diharapkan akan semakin bijak dan pandai menempatkan dirinya di dalam pergaulan masyarakat. Itu adalah harapan dan idealisme.
Masalahnya kini adalah, pendidikan seperti apa yang hendak diberikan kepada anak-anak kita, karena hal tersebut adalah tanggung jawab kita sebagai orang tua untuk membekali anak-anak kita dengan pendidikan yang bermanfaat dan berguna bagi kehidupan mereka kelak.
Banyak di antara orang tua yang sekarang sering mengadaptasi cara pengasuhan dan pendidikan ala negara-negara Barat. Banyak hal yang sangat baik dalam menanamkan rasa percaya diri dan motivasi anak, namun kita perlu menengarai bahwa tidak semua yang masuk dari Barat bisa begitu saja kita terapkan di rumah. Meskipun teori pengasuhan dan pendidikan mereka melalui serangkaian percobaan dan pengujian, ada banyak hal yang berbeda dengan kultur budaya dan juga faktor faith-belief yang sering berbeda.
Salah satu diantaranya yang tidak saya dukung untuk saat ini adalah faham yang membebaskan orang tua dari kewajiban menyekolahkan anak-anak mereka ke jenjang pendidikan tinggi seperti yang banyak terjadi di negara-negara Barat. Selepas SMA, anak-anak harus membiayai biaya pendidikan tinggi mereka sendiri, sementara orang tua mereka membeli rumah, properti atau mobil baru. Dengan situasi dan kondisi di Indonesia, secara realita sangatlah sulit bagi saya untuk melepas anak-anak mencari uang sendiri untuk membiayai pendidikan tinggi mereka.
Sekarang, dengan kondisi pendidikan di Indonesia yang kian jauh dari peta dan ranking kompetisi pendidikan dunia (silakan dicek sendiri ranking universitas-universitas Indonesia di peta pendidikan dunia) apa yang dapat kita harapkan dari pendidikan tinggi di Indonesia di masa mendatang bagi anak-anak kita?
Sementara kita masih bergelut dengan biaya pendidikan yang membumbung tinggi, universitas- universitas ternama membagikan ilmunya secara gratis. Siapa yang tidak tahu web-site Massachusett Institute of Technology: http:///ocw.mit.edu/index.html/ yang menawarkan program dari undergraduate sampai program doctoral secara on-line dan free. Bayangkan saja bila bangsa Indonesia bisa semudah itu mendapatkan pendidikan dan ilmu. Apalagi sekarang ada 5 universitas top di Jepang yang ikut bergabung di dalamnya.
Benarkah pendidikan on-line free benar-benar gratis? Tentu saja tidak. Setiap yang ikut tetap harus berdedikasi dalam belajarnya, belum lagi meluangkan untuk membaca dan membeli buku, kertas, belum biaya untuk on-line dan printing. Tidak ada pendidikan yang benar-benar gratis.
Masalahnya,sampai saat ini tidak ada satu perusahaan/kantor pun yang mau menerima karyawannya yang lulus semua program hingga doctoral program dengan nilai cum laude sekalipun, BILA tanpa sertifikat atau ijazah. Bila program on-line free tidak memberikan ijazah dan tidak mengizinkan pesertanya untuk menikmati fasilitas normal di dalam kampus, apakah ini berarti pembuktian akan mahalnya nilai sebuah ijazah /sertifikat? (HI)
sumber : http://fadlan.multiply.com/journal/item/22/21_Berhasil_di_Sekolah_VS_Berhasil_Dalam_Hidup
Read More … Berhasil di Sekolah VS Berhasil Dalam Hidup (25-03-2010)
school, kids, parentsSekolah sangat mahal di Indonesia. Ini adalah suatu realita yang kontradiktif dengan segala yang kita harapkan dan impikan selama ini. Susah payah kedua orang tua kita membesarkan dan mendidik kita, agar kita-kita mendapatkan kehidupan yang lebih baik dan lebih menyenangkan dibandingkan dengan kehidupan beliau-beliau.
Ternyata semakin tinggi taraf pendidikan dan taraf kehidupan semakin naik pula biaya yang harus disediakan untuk dapat mengenyam segala fasilitas dan kenyamanan yang tersedia.
Sudah bukan berita baru lagi bila dikabarkan sekolah favorit A mensyaratkan dua digit juta rupiah bila kita ingin memasukkan anak ke sana. Sementara menjamur puluhan, ratusan, ribuan sekolah lain yang tidak segan-segan mematok harga menjulang langit untuk memberi 1 tempat bagi buah hati kita.
Bila mereka yang jelas-jelas tak mampu berkompetisi hanya bisa mengurut dada dan mensyukuri apapun yang dapat mereka raih. Banyak pula di antara mereka yang tidak dapat mempunyai keinginan untuk memasukkan anak mereka ke sekolah favorit/mahal. Sementara, sekolah negeri 'tak favorit'pun sekarang semakin banyak mematok uang sumbangan. Kemana lagi para orang tua ini mesti berpaling?
"Ya Mbak....anak tante kan nggak pinter-pinter amat, sudah UMPTN gagal, masuk ke PT swasta mahal.....eh disuruh kursus nggak mau...maluu katanya...". "Masuk program Diploma...gengsi...akhirnya ya...cuma ubak-ubek ke sana kemari sama temennya...tuh."
Saya teringat kata-kata orang tua teman SD saya, dulu. Teman saya, akhirnya masih bergantung kepada orang tuanya hingga kini. Satu-satunya kebanggaannya, 'menyetir mobil', hal yang sangat 'keren' masa-masa SMA, akhirnya yang menjadikannya sumber mata pencariannya. Itupun seringkali mogok, karena menjadi supir pribadi 'orang kaya' tidak bisa dijadikan penghasilan tetap dengan mentalitas dirinya yang masih merasa sebagai'orang kaya' karena orang tuanya yang kaya.
Orang tua teman saya adalah produk yang melihat keberhasilan seseorang dari bebet, bibit bobot. Beliau pun mencari menantu yang minimal masih mempunyai gelar ningrat, yang pekerjaannya minimal insinyur atau dokter, yang orangnya cantik ganteng. Jadilah, teman saya ini selalu menolak tawaran pekerjaan yang menurutnya 'tidak bobot, bibit, bebet'.
Sementara ada temannya sesama lulusan SMA dulu yang sama-sama ditawari pekerjaan untuk menjadi detailer obat, dan mengambil tawaran menjadi detailer perusahaan Farmasi, sekarang sudah berkeluarga mapan, dapat menyelesaikan Sarjana Ekonominya di sebuah Universitas Negeri Extension, sudah beralih posisi dari detailer menjadi posisi eksekutif di bagian marketing perusahaan yang sama. Padahal dua-duanya berangkat dari lulusan SMA dengan nilai yang biasa-biasa saja.
Satu teman saya masih menikmati kebebasannya, tanpa pekerjaan, masih melajang, dan masih bergantung sepenuhnya kepada orang tua. Sementara temannya yang sama-sama ditawari pekerjaan yang 'dianggap'nya rendah, mengambil tawaran tersebut dan penuh ketekunan dan dedikasi sehingga sekarang mulai menikmati buah kerja kerasnya. Manakah yang lebih berhasil di dalam hidupnya?
Seringkali kita mendengar keluh kesah orang tua bahwa anak-anak mereka tidak cemerlang di dalam studinya. Seringkali juga kita dengar pomeo bahwa bila tidak berhasil dalam studi berarti sudah kehilangan satu anak tangga menuju keberhasilan hidup.
Apa benar bila kita berhasil di dalam studi akan banyak mempengaruhi keberhasilan kita di dalam kehidupan? Ini adalah suatu tema yang abadi dari perdebatan banyak para ahli. Apa sebenarnya parameter keberhasilan dan kesuksesan di dalam hidup?
Secara reliji, seringkali di dalam doa-doa yang muncul adalah permohonan dan harapan agar diberikan kebahagiaan dunia dan akhirat, lebih detail lagi dengan perinciian, umur panjang yang penuh berkah dan manfaat bagi semua, penuh kesehatan, dimudahkan dan dilancarkan dalam segala hal, diberikan kehidupan penuh kedamaian dan kemudahan, rezeki yang mengalir berlimpah tak putus, diberikan ilmu yang penuh manfaat, dibebaskan dari kesempitan, ketakutan, kemiskinan, kelaparan dan bencana, dan lain seterusnya.
Tidak ada di dalam doa-doa permohonan untuk dijadikan orang bertitel dan menjadi orang jenius. Kenyataannya memang keberhasilan dalam studi tidak menjamin bahwa ybs akan otomatis berhasil di dalam kehidupannya. Hanya saja, memang, keberhasilan di dalam studi bisa menjadi satu faktor yang membuat seseorang menjadi berhasil di dalam kehidupan, meskipun hal ini tidaklah mutlak.
Tidak sedikit orang yang tidak menuntaskan jenjang studi formalnya yang berhasil menjadi pengusaha besar. Sebut saja Bill Gates, atau pencipta Apple, atau banyak lagi sederetan nama baik di tingkat lokal, nasional maupun internasional. Kalau kita melihat sekeliling pastinya akan banyak kita temui orang-orang yang sukses tanpa sederetan gelar-gelar pendidikan tinggi.
Namun untuk di Indonesia, kelihatannya mayoritas orang masih melihat titel ataupun gelar-gelar yang disandang oleh seseorang dalam menentukan keberhasilan seseorang. Sehingga tak jarang ada orang yang setelah mampu secara ekonomi berusaha meraih gelar-gelar tersebut dengan segala cara, hingga membeli gelar.
Di satu sisi, ini merupakan satu faktor yang menggembirakan untuk para praktisi akademisi. Ladang yang subur untuk meraup emas-berlian adalah BISNIS PENDIDIKAN. Berarti ini masa depan yang gemilang dan menjanjikan bagi mereka yang berkecimpung di bidang pendidikan secara profesional. Di sisi lain, menimbulkan kompetisi baik sehat maupun tidak sehat bagi bangsa Indonesia di dalam meraih gelar-gelar pendidikan tinggi.
Saya sendiri mengalami saat-saat melihat perjuangan banyak orang untuk mengubah taraf kehidupan dan penghidupan mereka melalui pendidikan. Tak segan-segan banyak orang mengeluarkan uang berjuta-juta demi mendapatkan seberkas sertifikat/ijazah. Namun sayangnya, jarang ada di antara mereka yang murni belajar 'hanya' sekedar untuk memperoleh ilmu pengetahuan.
Walaupun banyak yang mendengungkan pentingnya EQ yang balans dengan IQ, selama ini yang saya temui adalah teman-teman atau orang-orang yang saya kenal yang berhasil di dalam studinya adalah mereka pula yang berhasil di dalam kehidupan. Hal ini memang kadang menimbulkan kecemburuan, dan iri hati. Benarkah mereka yang berhasil dalam studi sekaligus mereka mempunyai balans EQ dan IQnya? Sementara kita meyakini bahwa Allah SWT Sangat Maha Adil terhadap semua ciptaanNya. Apa ini berarti ada yang diciptakan untuk menjadi sukses dan ada yang diciptakan untuk sulit menjadi sukses?
Apakah ini diskrimanasi? Saya lebih cenderung mengatakan bahwa seperti seleksi alam, manusia hidup juga sangat kompetitif. Hidup adalah perjuangan, juga bukan sekedar slogan. Sehingga di manapun manusia hidup dan berada, dia yang diberikan fitrah dan kebebasan oleh Allah dalam memilih sendiri 'way of lifenya', bebas memilih 'faith dan beliefnya', bebas memilih 'medan tempur kehidupannya sendiri'.
Kita tak bisa hanya berteriak-teriak memprotes kesenjangan kesejahteraan dan kehidupan serta berbagai kenyamanan lain yang tak tergapai oleh mayoritas bangsa Indonesia. Sementara secara mentalitas, impian semua orang adalah sama yaitu menikmati semua kenyamanan tersebut tanpa kecuali. Selama mentalitas /idealisme kenyamanan kehidupan yang diimpikan oleh bangsa Indonesia masih satu versi, berarti seluruh bangsa Indonesia menceburkan diri ke dalam suatu "medan tempur besar materialisme dan borjuisme nasional".
Teman-teman saya dari bangsa lain kadang menyindir saya, katanya orang di Indonesia beragama, religius, kenapa ya sampai jadi negara terkorup dan masuk negara termiskin? Kalau religius, bukankah itu sangat kontradiktif dengan korup dan kemiskinan?
Mereka lebih menyindir lagi masalah pelanggaran HAM, dan masalah pelestarian sumber-sumber hayati negara. Apalagi mengetahui hasil report dan survey lembaga dunia/ media internasional mengenai gaya hidup para penguasa dan keluarga mereka.
Saya sangat susah untuk berkata-kata dan menjawabnya. Bagaimana bangsa Indonesia memilih pemimpin dan para pejabatnya?
Saya jadi teringat seorang teman, yang sampai diejek banyak orang karena ia menjawab, bahwa ia sebagai pribadi baru mampu menjadi pemimpin bagi dirinya sendiri, dan "baru belajar"untuk menjadi pemimpin bagi istri dan anak-anaknya.
Jawabannya yang sangat simple dan low-profile ini pada awalnya kedengaran kurang PD. Namun dibalik jawaban yang super simple ini, terkandung suatu percaya diri yang kuat. Lha, wong dia bisa bilang dapat menjadi pemimpin bagi dirinya sendiri berarti dia memililiki 'confidence' dapat take-control of his own-life.
Kebanyakan challenge dari mereka yang sukses di dalam studi adalah 'over-confident'. Apalagi bila sekolah yang dilalui adalah sekolah favorit di LN yang ternama dengan bidang yang super-sulit. Kebalikannya, mereka yang kurang berhasil di dalam studi seringkali dihinggapi hal sebaliknya. Tak PD dan terlalu PD ini sebenarnya bisa menghinggapi siapapun tanpa kecuali.Hanya saja memang selalu ada faktor-faktor pencetus dan pendukung timbulnya hal tersebut.
Banyak di antara teman yang setelah meraih gelar tertinggi di bidang akademisi menjadi 'terlahir' sebagai orang yang baru yang sudah mengubah 'medan tempur kehidupannya' dan beranjak ke stage yang lebih tinggi. Meskipun masih banyak pula yang tidak berubah gaya hidup serta personalitynya. Masih tetap bersahaja dan low-profile, dan bergaya hidup sederhana, tidak hanya mau bergaul dengan mereka yang dianggap selevel baik gaya hidup, pendidikan, maupun pergaulan.
Saya jadi teringat komentar seorang teman, yang setengah mengeluh mengatakan bahwa dirinya tidak dianggap di dalam pergaulan teman-temannya hanya karena dia dan suaminya tidak mempunyai gelar pendidikan tinggi dan level penghasilan mereka tidak sebanding dengan teman-temannya yang lain.
Baginya tidak jadi masalah bila tidak diajak dalam aktifitas lingkaran pergaulan teman-temannya yang sudah menanjak lebih baik, namun rasanya aneh dan menyakitkan bagi mereka untuk tiba-tiba saja menjadi kehilangan banyak teman lama karena kesenjangan pendidikan dan ekonomi keluarga.
Sementara ini saya masih belum berubah dalam berfikir bahwa pendidikan adalah satu jembatan emas yang mengantarkan manusia ke dalam kehidupan dan pendewasaan diri. Sehingga selayaknya, semakin tinggi pendidikan seseorang, diharapkan akan semakin bijak dan pandai menempatkan dirinya di dalam pergaulan masyarakat. Itu adalah harapan dan idealisme.
Masalahnya kini adalah, pendidikan seperti apa yang hendak diberikan kepada anak-anak kita, karena hal tersebut adalah tanggung jawab kita sebagai orang tua untuk membekali anak-anak kita dengan pendidikan yang bermanfaat dan berguna bagi kehidupan mereka kelak.
Banyak di antara orang tua yang sekarang sering mengadaptasi cara pengasuhan dan pendidikan ala negara-negara Barat. Banyak hal yang sangat baik dalam menanamkan rasa percaya diri dan motivasi anak, namun kita perlu menengarai bahwa tidak semua yang masuk dari Barat bisa begitu saja kita terapkan di rumah. Meskipun teori pengasuhan dan pendidikan mereka melalui serangkaian percobaan dan pengujian, ada banyak hal yang berbeda dengan kultur budaya dan juga faktor faith-belief yang sering berbeda.
Salah satu diantaranya yang tidak saya dukung untuk saat ini adalah faham yang membebaskan orang tua dari kewajiban menyekolahkan anak-anak mereka ke jenjang pendidikan tinggi seperti yang banyak terjadi di negara-negara Barat. Selepas SMA, anak-anak harus membiayai biaya pendidikan tinggi mereka sendiri, sementara orang tua mereka membeli rumah, properti atau mobil baru. Dengan situasi dan kondisi di Indonesia, secara realita sangatlah sulit bagi saya untuk melepas anak-anak mencari uang sendiri untuk membiayai pendidikan tinggi mereka.
Sekarang, dengan kondisi pendidikan di Indonesia yang kian jauh dari peta dan ranking kompetisi pendidikan dunia (silakan dicek sendiri ranking universitas-universitas Indonesia di peta pendidikan dunia) apa yang dapat kita harapkan dari pendidikan tinggi di Indonesia di masa mendatang bagi anak-anak kita?
Sementara kita masih bergelut dengan biaya pendidikan yang membumbung tinggi, universitas- universitas ternama membagikan ilmunya secara gratis. Siapa yang tidak tahu web-site Massachusett Institute of Technology: http:///ocw.mit.edu/index.html/ yang menawarkan program dari undergraduate sampai program doctoral secara on-line dan free. Bayangkan saja bila bangsa Indonesia bisa semudah itu mendapatkan pendidikan dan ilmu. Apalagi sekarang ada 5 universitas top di Jepang yang ikut bergabung di dalamnya.
Benarkah pendidikan on-line free benar-benar gratis? Tentu saja tidak. Setiap yang ikut tetap harus berdedikasi dalam belajarnya, belum lagi meluangkan untuk membaca dan membeli buku, kertas, belum biaya untuk on-line dan printing. Tidak ada pendidikan yang benar-benar gratis.
Masalahnya,sampai saat ini tidak ada satu perusahaan/kantor pun yang mau menerima karyawannya yang lulus semua program hingga doctoral program dengan nilai cum laude sekalipun, BILA tanpa sertifikat atau ijazah. Bila program on-line free tidak memberikan ijazah dan tidak mengizinkan pesertanya untuk menikmati fasilitas normal di dalam kampus, apakah ini berarti pembuktian akan mahalnya nilai sebuah ijazah /sertifikat? (HI)
sumber : http://fadlan.multiply.com/journal/item/22/21_Berhasil_di_Sekolah_VS_Berhasil_Dalam_Hidup